Ketika filsafat
Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut
sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd,
Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa
dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat
islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Al-Ghazali
merupakan seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap
Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang
teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu
beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi
(kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang pemikiran filsafat
Al-Ghazali.
A.
Rumusan
Masalah
1. Bagaiamanakah
biografi Al Ghazali?
2. Apa
saja hasil karya Al Ghazali?
3. Bagaimanakah
pemikiran filsafat Al Ghazali?
4. Bagaimanakah
kritik Al Ghazali terhadap filosof muslim lainnya?
B.
Tujuan
1. Mengetahui
biografi Al Ghazali
2. Mengetahui
hasil karya Al Ghazali
3. Mengetahui
pemikiran filsafat Al Ghazali
4. Mengetahui
kritik Al Ghazali terhadap filosof muslim lainnya
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
dan Pendidikan
Nama asli Imam
al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi
Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di
pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia,
ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani
agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada
ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia
wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam
usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa
kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin
Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali),
kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah
mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan
belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda
ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan
pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab
Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa
al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.[2]
Setelah Imam
Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke
Mu’askar,ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri
Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut
dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan
ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya
melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada
perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian
mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat
perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau
dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
Di samping ia
menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai
konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi
kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya
berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad)
maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama,
pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan
permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan
bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana
Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh
seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun
kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi
Amrillah.
Ketiga orang
tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini
dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya
sebagai ulama yang terkenal.[3]
Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh
daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini sangat mengguncangkan
kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094
M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di
mana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi
penggerak dalam pembunuhan secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham
Al-Muluk.[4]
Dalam suasana
kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani
Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya.
Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut.
Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il
Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan
Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun
disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap
pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah
gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah
ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.[5]
B.
Karya-Karya
Al-Ghazali
Sebagai seorang
ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk menulis
kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati
secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian
paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali seperti
halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan
dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala buku tersebut,
Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya
al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan
sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab
yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab. Ketiga,
kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah
kitab.[6]
Mengenai
kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada
zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih,
tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
Diantaranya sebagai berikut:
1.
Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu
agama)
Ini
merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang
berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di
kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.
2.
Tahafut al-Falasifah (menerangkan
pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
3.
Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan
tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
4.
Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu
ahli kalam),
5.
Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang
terkandung dalam al-Qur’an),
6.
Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah
keagamaan),
Dalam
buku ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab
Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan
orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia
mengakui qadimnya alam.
7.
Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani
Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama Tuhan),
8.
Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa
Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq),
9.
Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk
mengatasi perselisihan pendapat).
10.
Al-Mustadhhir,
11.
Hujjat Al-Haq (dalil yang benar),
12.
Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din
(menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad-din),
13.
Kimiya As-sa’adah (menerangkan syubhat
ahli ibadah),
14.
Al-Basith (fiqh),
15.
Al-Wasith (fiqh),
16.
Al-Wajiz (fiqh),
17.
Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),
18.
Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil
(tafsir 40 jilid),
19.
Al-Mustasfa (ushul fiqh),
20.
Al-Mankhul (ushul fiqh),
21.
Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara
berdebat yang baik),
22.
Mi’yar Al-‘ilmi,
23.
Al-Maqashid (yang dituju),
24.
Al-Madnun bihi ’ala Ghairi Ahlihi,
25.
Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),
26.
Mahku An-Nadhar,
C.
Pemikiran
Filsafat Al-Ghazali
1. Metafisika
Untuk
pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama
karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil
kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah
seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.Al-Ghazali dalam
Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan
(metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof)
karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah
mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf
dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan.
Dia
pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya
yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya
kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk
memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang
metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang
berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan
kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika
dan matematika.Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran
tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan
Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih
dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2. Iradat Tuhan
Mengenai
kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari
iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan
yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak
merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara
zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan
kebiasaanya yang kita lihat ini.Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan
waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap
dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala
kejadian.[7]
Pengikut
Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat
(hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat
bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak
untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai
contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain.
Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar
dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[8]
3. Etika
Mengenai
filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika
Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika
Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi
Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala
Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya
meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan
sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.Sesuai
dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif
berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi
sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap
bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya
menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal
keburukan sama sekali.Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa
kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang
disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.Bagi Al-Ghazali,
taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini
nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan
perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban
agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam
melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang
makna-makna yang terkandung di dalamnya.[9]
D.
Pandangan
Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai
pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof,
karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di
lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut
al-Falasifah, yakni sebagai berikut :”...sumber kekufuran manusia pada saat itu
adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato,
Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan
kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya,
ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi
..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan
agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini
bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan ...”
Jikalau melihat
ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam
kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber
ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari
Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud
menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju
Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku
Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran
filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya
sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan
buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang
terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan
filsafat disebut sebagai seorang filosof?.Dalam bukunya pula yang berjudul
Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga)
golongan:
1.
Filosof Materialis (Dhariyyun)Mereka
adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya.
2.
Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)Mereka
adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di
alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka
hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3.
Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)Mereka
adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun
ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan
keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga
al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus
seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi
sekarang.
Al-Ghazali
mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof
yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi
adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena
inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang
khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali
mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Zainal Abidin, 1975, Riwayat Hidup
Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang
A.
Hanafi, 1981, Antara Imam Al-Ghazali dan
Imam Rusyd Dalam Tiga
Metafisika, Jakarta:
Pustaka al-Husna
Abdullah,
M. Amin, 1996, Studi Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
A.
Mustofa, 1999, Filsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia
Daudy,
Ahmad, 1986, Kuliah Filsafat Islam,
Jakarta: Bulan Bintang
Nasution,
Harun, 1983, Akal dan Wahyu Dalam
Islam, Jakarta: Universitas
Indonesia
Supriyadi,
Dedi, 2009, Pengantar Filsafat Islam
Konsep, Filosof dan Ajarannya,
Bandung:
Pustaka Setia
Poerwantana,
dkk, 1988, Seluk Beluk Filsafat Islam,
Bandung: CV ROSDA
Zar,
Sirajuddin, 2004, Filsafat Islam
filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Komentar