Langsung ke konten utama

MERESPON ISU PENDIDIKAN KRITIS

A.    Rasional
Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

B.     Permasalahan
Makalah ini mencoba untuk mengupas apakah evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab pertanyaan;
1.      Apakah sistem evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan.
2.      Apakah UN dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3.      Apakah UN dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik.
4.      Apakah UN dapat menjawab sikap demokratis anak.

C.    Pembahasan/Kajian Teori
1.      Kurikulum
Sebelum berbicara tentang evaluasi, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di Indonesia sekarang sedang dikembangkan kurikulum berbasis karakter yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam draft tersebut merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh peserta didik yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi dapat diketahui melalui sejumlah hasil belajar dengan indikator tertentu. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual.
Cara mencapai kompetensi yang dibakukan disesuaikan dengan keadaan daerah dan atau sekolah. Berkaitan dengan hal ini dalam pelaksanaan kurikulum dikenal istilah diversifikasi kurikulum, maksudnya adalah bahwa kurikulum dikembangkan dengan menggunakan prinsip perbedaan kondisi dan potensi daerah, termasuk perbedaan individu peserta didik.
Evaluasi yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk mengingat kembali, tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan "bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" (Pasal 3).
Dalam tujuan pendidikan di atas terdapat beberapa kata kunci antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan demokratis. Konsekuensinya adalah evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan.

2.      Ujian Nasional Sebagai Sarana Evaluasi Pendidikan
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Nasional bahwa tujuan UN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu UN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.
UN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkan pada beberapa mata pelajaran yang dianggap penting, walaupun masih ada perdebatan tentang mengapa mata pelajaran itu yang penting dan apakah itu berarti yang lain tidak penting. Benarkah bahwa matematika, IPA, dan Bahasa Inggris merupakan tiga mata pelajaran yang paling penting.
Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi, Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya, Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak. (McNeil, 1977:134-135).
UN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Dalam Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 terdapat ketidaksinambungan antara tujuan, fungsi, dan bentuk ujian, diantaranya;
a.       Pelaksanaan UN bertujuan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes. Dari pernyataan tersebut muncul beberapa pertanyaan antara lain:
1)      Dapatkah tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik?
2)      Dapatkah tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian?
3)      Dapatkah tes tertulis melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak?
4)      Dapatkah tes di ujung tahun ajaran menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya?
5)      Apakah hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk memperoleh jawabannya bila dengan hanya memberikan tes pada akhir tahun pelajaran. Hasil belajar bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak bersifat hafalan, tetapi juga berupa keterampilan, sikap, motivasi, dan perilaku yang tidak semuanya dapat diukur dengan menggunakan tes karena melibatkan proses belajar. Dengan kata lain terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun pelajaran saja.
b.      Tujuan ujian sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Mendiknas di atas adalah untuk mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Lagi pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan di atas muncul, seperti apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran, Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun. Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran penting saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UN.
c.       Ujian bertujuan untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Adalah ironis kalau UN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UN. Dengan kata lain, UN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UN untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidak adilan karena ibarat mengetes atletik tingkat pelatnas yang setiap hari dilatih dengan segala sarana dan prasarana termasuk pelatih yang memadai dengan atletik kampung yang memiliki sarana seadanya. Tentu saja hasilnya jauh berbeda, tetapi kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Pelaksanaan UN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap penting juga memiliki permasalahan tersendiri. Benarkah hanya matematika, bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran penting. Bagaimana kalau ada anak yang memiliki bakat untuk melukis, apakah itu berarti bahwa pelajaran seni jelas merupakan pelajaran penting bagi dia, Bagaimana juga dengan anak yang bercita-cita menjadi olahragawan yang berarti bahwa pelajaran olah raga merupakan pelajaran yang penting bagi dia, Kalau begitu kata penting di sini untuk siapa. Pelaksanaan UN pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Beberapa orang berpendapat bahwa UN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami bahwa Kebijakan UN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UN yang diatur dari pusat.

3.        Optimalisasi UNBK sebagai Evaluasi Efektif-Efisien (Kritik Model Evaluasi Pendidikan di Indonesia)
Sejak digulirkannya Kebijakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pada tahun 2015 menjadi revolusi baru dalam evaluasi pendidikan di Indonesia. Namun, UNBK masih menjadi kontroversi dalam pelaksanaannya. Sebab, UN secara manual(tertulis) saja masih banyak terjadi kekurangan malahan berganti ke basis IT yang pastinya rentang akan humen error dan cybercrime. Dengan momok permasalahan UN mulai dari soal UN bocor,jual belikunci jawaban,kesiapandistribusi logistik, dan pengawas UN nakal. Hal ini pasti akan memicu meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia karena demi mengintip dokumen negara yang rahasia banyak oknum yang bermain curang dan pemerasan pada peserta UN. Bukannya menjadi alat evaluasi mengenai tingkat pendidikan di Indonesia malahan menjadi ladang bisnis haram. UNBK sendiri tak lepas dari berbagai Kekurangan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK);
a.       Jumlah komputer yang belum memadai, Kendala pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer yang paling nyata adalah minimnya jumlah komputer yang dimiliki oleh tiap-tiap sekolah sehingga tidak semua sekolah mampu melaksanakan ujian nasional berbasis komputer. Belum lagi sekolah yang ada di daerah pelosok yang sama sekali tidak memiliki komputer semakin menambah permasalahan dalam pelaksanaan UNBK.
b.      Jaringan internet yang belum merata, Ujian nasional berbasis komputer dilaksanakan secara online dan syarat yang paling utama lancarnya ujian adalah ketersediaan jaringan internet namun fakta berbicara bahwa jaringan internet dibeberapa daerah sangat sulit diakses. Apalagi jika harus digunakan untuk melaksanakan UNBK yang membutuhkan jaringan internet yang kuat.
c.       Pelaksanaan ujian nasional, Pelaksanaan ujian nasional yang biasanya serentak terpaksa diadakan secara bergelombang dikarenakan jumlah komputer yang tidak seimbang dengan jumlah peserta UN. Pelaksanaan UN secara bergelombang sedikit banyaknya akan berpengaruh pada psikologi siswa, selain itu potensi kecurangan bisa terjadi karena siswa yang terlebih dahulu ujian mempunyai kesempatan untuk menceritakan kepada teman-temannya yang belum ujian soal-soal yang muncul dalam UN walaupun potensi tersebut terbilang kecil.
d.      Aliran listrik menjadi kendala pelaksanaan UNBK. Memang di kota aliran listrik sudah memadai namun bagaimana dengan sekolah yang ada di daerah perbatasan/pelosok yang masih belum bisa teraliri listrik. Adalah hal mustahil bisa melaksanakan UNBK jika listrik tidak ada karena untuk menyalahkan komputer membutuhkan aliran listrik.
e.       Memunculkan masalah sosial, Ujian dengan metode UNBK bisa jadi memunculkan kecemburuan sosial karena sebagian siswa sudah menikmati kemudahan melaksanakan ujian nasional menggunakan komputer sedangkan dipihak lain siswa yang sekolahnya belum memiliki fasilitas yang memadai masih harus melaksanakan UN secara manual. Hal ini menyiratkan ketidakmerataan sarana dan prasarana pendidikan masih sangat terlihat di indonesia

D.    Kesimpulan
1.      Sistem evaluasi dalam bentuk UN belum dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan. Mengingat dalam pelaksanaan Ujian Nasional hanya berdasarkan nilai angka (kognitif) saja sedangkan tujuan dari pendidikan tidak hanya diukur dengan angka.
2.      Ujian Nasional belum dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena format pelaporan hasil belajar siswa hanya dinilai di penghujung tahun sehingga penilaianyapun juga belum menyeluruh.
3.      Ujian Nasional belum dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik karena masih dinilai berdasarkan nilai mata pelajaran yang penting saja dan mengenyampingkan mata pelajaran yang lain.



E.     Rekomendasi
1.      Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993 :17). Untuk itu evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993 :27-29).
2.      Evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi.
3.      Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum. Jika UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi.
4.      Sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar bahasa Indonesia perlu mencakup kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis, membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan menggunakan portfolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan saat ini.












DAFTAR PUSTAKA


Rohmat. 2012. Pilar Peningkatan Mutu Pendidikan. Yogyakarta: Cipta Media
Aksara

Pusat Pengembangan Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004 Kerangka Dasar (draft).
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Soedijarto, Prof., DR, MA. 1993a. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan
dan Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka

Soedijarto, Prof., DR, MA. 1993b. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Grasindo

McNeil, John D. 1977. Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little,
Brown and Company

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONSEP MOTIVASI DALAM PERILAKU ORGANISASI

Motivasi terbentuk dari adanya interaksi antara individu dengan situasi yang dihadapi. Motivasi bukanlah sebuah sifat pribadi namun lebih ke dorongan seseorang untuk bekerja atau mencapai suatu tujuan. Di dalam suatu organisasi, seorang atasan dituntut untuk mampu memberikan motivasi bagi bawahannya agar bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya. Motivasi erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan individu, dimana semakin terpenuhi kebutuhan seseorang dalam organisasi, maka semakin termotivasi seseorang untuk bekerja dengan sebaik-baiknya Di Organisasi juga berlaku demikian. Mungkin seseorang yang bergabung dalam sebuah organisasi akan mengorbankan waktunya, tenaganya, pikirannya, materinya yang dimilikinya, bahkan ada yang mengorbankan nyawanya untuk sebuah organisasi. Karena ada yang dituju dan hasil yang diharapkan. T erlibat aktif dalam organisasi akan mengembangkan kemampuan dan kapasitas pribadi seseorang. Telah terbukti baik secara ilmiah maupun secara realita dikehidupan s

PRINSIP PENDIDIKAN PERSPEKTIF AL QURAN DAN HADITS

Pendidikan Islam merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan Islam merupakan pondasi awal untuk melangkah dan menjalani hidup yang terarah dan teratur. Manusia sebagai makhluk Allah diciptakan untuk senantiasa untuk beribadah kepada-Nya. Dalam beribadah tentunya tidak hanya sekedar hanya ikut-ikutan saja tetapi juga harus memiliki ilmu dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang bernilai ibadah. Allah swt . sangat menyukai orang-orang yang berpendidikan atau berilmu, sehingga Allah mengangkatkatnya kedalam derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Kita yang berprofesi sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya sekedar mengajar dan mendidik peserta didik, tetapi guru atau pendidik dalam menjalankan fungsinya juga harus mempunyai prinsip dalam mendidik atau mengajar. Prinsip pendidikan Islam inilah yang menjadi pegangan guru dalam menjalankan fungsinya. Didalam makalah ini akan kami bahas prinsip-prinsip pendidikan Is

KONSEP KINERJA DAN RETENSI INDIVIDUAL

Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang sangat penting bagi keefektifan berjalannya kegiatan di dalam organisasi. Keberhasilan dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh tingkat kompetensi, profesionalisme, dan juga komitmennya terhadap bidang pekerjaan yang ditekuninya. Kinerja seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat kepuasan kerja yang dimiliki. Kepuasan kerja seseorang juga dipengaruhi baik dari dalam maupun dari luar. Untuk sisi internal, kepuasan kerja seseorang akan menyangkut komitmennya dalam bekerja, baik komitmen professional maupun komitmen organisasional. Sedangkan dari sisi eksternal, kepuasan kerja dipengaruhi oleh lingkungannya dimana seseorang berada (Amilin dan Rosita Dewi, 2008:13).      Kualitas   m a n usia   y ang   d ibutu h k a n   ol eh  b a ngsa   I ndo n esia   p a da   masa  y a ng   a k a n   da t ang ada l ah y a ng m a m pu  me ngha d api  p e r s a i ngan y a ng sem a kin ketat  d eng a n  b