A. Rasional
Pendidikan
merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut
Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana
untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses
pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan
pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran.
Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat
pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.
Evaluasi
pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari
rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat
dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila
alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur
yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan
salah sama sekali.
Ujian nasional
(UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas
(Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UN merupakan
alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan.
B. Permasalahan
Makalah ini
mencoba untuk mengupas apakah evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab
pertanyaan;
1.
Apakah
sistem evaluasi dalam bentuk UN dapat menjawab semua informasi yang diperlukan
dalam pencapaian tujuan.
2.
Apakah UN dapat memberikan informasi
tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3.
Apakah UN dapat menjawab tingkat
kreativitas dan kemandirian peserta didik.
4.
Apakah UN dapat menjawab sikap
demokratis anak.
C. Pembahasan/Kajian
Teori
1.
Kurikulum
Sebelum
berbicara tentang evaluasi, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang kurikulum
sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum mencakup fokus
program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen
kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di Indonesia sekarang
sedang dikembangkan kurikulum berbasis karakter yang merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam draft tersebut merupakan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh peserta didik yang diwujudkan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi dapat
diketahui melalui sejumlah hasil belajar dengan indikator tertentu. Kompetensi
dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan
bahan pelajaran secara kontekstual.
Cara
mencapai kompetensi yang dibakukan disesuaikan dengan keadaan daerah dan atau
sekolah. Berkaitan dengan hal ini dalam pelaksanaan kurikulum dikenal istilah
diversifikasi kurikulum, maksudnya adalah bahwa kurikulum dikembangkan dengan
menggunakan prinsip perbedaan kondisi dan potensi daerah, termasuk perbedaan
individu peserta didik.
Evaluasi
yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian
tujuan pendidikan nasional. Untuk mengingat kembali, tujuan pendidikan nasional
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan "bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" (Pasal
3).
Dalam
tujuan pendidikan di atas terdapat beberapa kata kunci antara lain iman dan
takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
demokratis. Konsekuensinya adalah evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat
sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut.
Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang
dalam tujuan pendidikan.
2.
Ujian
Nasional Sebagai Sarana Evaluasi Pendidikan
Pemerintah
telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN sebagai salah satu bentuk
evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 tentang Ujian Nasional bahwa tujuan UN adalah untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah
lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu UN
bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan
penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai
tingkat sekolah.
UN
berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong
peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan
peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UN merupakan salah satu bentuk evaluasi
belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkan pada beberapa mata pelajaran yang
dianggap penting, walaupun masih ada
perdebatan tentang mengapa mata pelajaran itu yang penting dan apakah itu
berarti yang lain tidak penting. Benarkah bahwa matematika, IPA, dan Bahasa
Inggris merupakan tiga mata pelajaran yang paling penting.
Evaluasi
seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta
didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan,
mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang
mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak
frustasi,
Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan
yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya, Diagnosis berkaitan dengan pada
bagian mana yang dirasa sulit oleh anak. (McNeil, 1977:134-135).
UN
yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak
mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum
dan setelah mengikuti pendidikan.
Dalam
Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 terdapat ketidaksinambungan antara tujuan,
fungsi, dan bentuk ujian,
diantaranya;
a.
Pelaksanaan
UN bertujuan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
pemberian tes. Dari pernyataan tersebut muncul beberapa pertanyaan antara lain:
1) Dapatkah
tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran memberikan gambaran
tentang perkembangan pendidikan peserta didik?
2) Dapatkah
tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian?
3) Dapatkah
tes tertulis melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak?
4) Dapatkah
tes di ujung tahun ajaran menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya?
5) Apakah
hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti
pelajaran?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk
memperoleh jawabannya bila dengan hanya memberikan tes pada akhir tahun
pelajaran. Hasil belajar bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak
bersifat hafalan, tetapi juga berupa keterampilan, sikap, motivasi, dan
perilaku yang tidak semuanya dapat diukur dengan menggunakan tes karena
melibatkan proses belajar. Dengan kata lain terjadi pertentangan antara tujuan
yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil
belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun pelajaran
saja.
b. Tujuan ujian sebagaimana disebutkan
dalam Keputusan Mendiknas di atas adalah untuk mengukur mutu pendidikan di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Lagi pertanyaan
yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan di atas muncul, seperti apakah mutu
pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir
tahun ajaran,
Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa,
apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun. Mutu pendidikan pada tingkat
nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UN sebagaimana
yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di
Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat
indikasi bahwa soal-soal UN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke
tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya
hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak
mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran penting saja, apalagi dilaksanakan sekali
di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran
dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya
pengetahuan kognitif
saja. UN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak
didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UN tidak akan mampu melihat
mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan
pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UN tidak akan mampu
menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang
diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UN.
c. Ujian bertujuan untuk
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Adalah
ironis kalau UN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan
pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif,
afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk
manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang
semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UN. Dengan kata
lain, UN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UN juga
tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan
kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di
Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah
di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda
mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota
relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di
daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan
kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan.
Kebijakan penerapan UN untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip
tersebut dan mengakibatkan ketidak adilan karena ibarat mengetes atletik
tingkat pelatnas yang setiap hari dilatih dengan segala sarana dan prasarana
termasuk pelatih yang memadai dengan atletik kampung yang memiliki sarana
seadanya. Tentu saja hasilnya jauh berbeda, tetapi kebijakan yang diambil
adalah menyamakan mereka.
Pelaksanaan UN hanya pada beberapa mata pelajaran
yang dianggap penting juga
memiliki permasalahan tersendiri. Benarkah hanya matematika, bahasa Indonesia
yang merupakan mata pelajaran penting.
Bagaimana kalau ada anak yang memiliki bakat untuk melukis, apakah itu berarti
bahwa pelajaran seni jelas merupakan pelajaran penting bagi dia, Bagaimana juga dengan anak yang
bercita-cita menjadi olahragawan yang berarti bahwa pelajaran olah raga
merupakan pelajaran yang penting bagi dia, Kalau begitu kata penting di sini
untuk siapa.
Pelaksanaan UN pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung
mengajarkan mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan
ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain,
padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari
kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak
dilakukan pengujian.
Beberapa orang berpendapat bahwa UN bertentangan
dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami bahwa Kebijakan UN dilaksanakan bersamaan dengan
dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga
dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah.
Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk
sekolah, tetapi pelaksanaan UN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi
karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UN yang diatur dari pusat.
3.
Optimalisasi UNBK sebagai Evaluasi Efektif-Efisien
(Kritik Model Evaluasi Pendidikan di Indonesia)
Sejak digulirkannya
Kebijakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pada tahun 2015 menjadi
revolusi baru dalam evaluasi pendidikan di Indonesia. Namun, UNBK masih menjadi
kontroversi dalam pelaksanaannya. Sebab, UN secara manual(tertulis) saja masih
banyak terjadi kekurangan malahan berganti ke basis IT yang pastinya rentang
akan humen error dan cybercrime. Dengan momok permasalahan UN mulai dari soal
UN bocor,jual belikunci jawaban,kesiapandistribusi logistik, dan pengawas UN
nakal. Hal ini pasti akan memicu meningkatnya angka kriminalitas di Indonesia
karena demi mengintip dokumen negara yang rahasia banyak oknum yang bermain
curang dan pemerasan pada peserta UN. Bukannya menjadi alat evaluasi mengenai
tingkat pendidikan di Indonesia malahan menjadi ladang bisnis haram. UNBK
sendiri tak lepas dari berbagai Kekurangan Ujian Nasional
Berbasis Komputer (UNBK);
a. Jumlah
komputer yang belum memadai,
Kendala
pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer yang paling nyata adalah minimnya
jumlah komputer yang dimiliki oleh tiap-tiap sekolah sehingga tidak semua
sekolah mampu melaksanakan ujian nasional berbasis komputer. Belum lagi sekolah
yang ada di daerah pelosok yang sama sekali tidak memiliki komputer semakin
menambah permasalahan dalam pelaksanaan UNBK.
b. Jaringan
internet yang belum merata,
Ujian
nasional berbasis komputer dilaksanakan secara online dan syarat yang paling
utama lancarnya ujian adalah ketersediaan jaringan internet namun fakta
berbicara bahwa jaringan internet dibeberapa daerah sangat sulit diakses.
Apalagi jika harus digunakan untuk melaksanakan UNBK yang membutuhkan jaringan
internet yang kuat.
c. Pelaksanaan
ujian nasional, Pelaksanaan
ujian nasional yang biasanya serentak terpaksa diadakan secara bergelombang
dikarenakan jumlah komputer yang tidak seimbang dengan jumlah peserta UN.
Pelaksanaan UN secara bergelombang sedikit banyaknya akan berpengaruh pada
psikologi siswa, selain itu potensi kecurangan bisa terjadi karena siswa yang
terlebih dahulu ujian mempunyai kesempatan untuk menceritakan kepada
teman-temannya yang belum ujian soal-soal yang muncul dalam UN walaupun potensi
tersebut terbilang kecil.
d. Aliran
listrik menjadi kendala pelaksanaan UNBK. Memang di kota aliran listrik
sudah memadai namun bagaimana dengan sekolah yang ada di daerah perbatasan/pelosok
yang masih belum bisa teraliri listrik. Adalah hal mustahil bisa melaksanakan
UNBK jika listrik tidak ada karena untuk menyalahkan komputer membutuhkan
aliran listrik.
e.
Memunculkan masalah sosial, Ujian dengan metode UNBK bisa jadi memunculkan
kecemburuan sosial karena sebagian siswa sudah menikmati kemudahan melaksanakan
ujian nasional menggunakan komputer sedangkan dipihak lain siswa yang
sekolahnya belum memiliki fasilitas yang memadai masih harus melaksanakan UN
secara manual. Hal ini menyiratkan ketidakmerataan sarana dan prasarana
pendidikan masih sangat terlihat di indonesia
D. Kesimpulan
1.
Sistem
evaluasi dalam bentuk UN belum
dapat
menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan. Mengingat dalam pelaksanaan Ujian Nasional hanya
berdasarkan nilai angka (kognitif) saja sedangkan tujuan dari pendidikan tidak
hanya diukur dengan angka.
2.
Ujian
Nasional belum dapat memberikan informasi tentang keimanan dan
ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena format pelaporan hasil belajar siswa hanya
dinilai di penghujung tahun sehingga penilaianyapun juga belum menyeluruh.
3.
Ujian
Nasional belum dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian
peserta didik karena masih
dinilai berdasarkan nilai mata pelajaran yang penting saja dan mengenyampingkan
mata pelajaran yang lain.
E. Rekomendasi
1.
Evaluasi harus mampu menjawab semua
informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan
yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga
kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993 :17). Untuk itu evaluasi harus
mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja.
Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta
didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal
saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti
bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal
walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya
harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang
dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan
harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang
tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan
hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau
menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan
berkelanjutan (Soedijarto, 1993 :27-29).
2.
Evaluasi
sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang
berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah
masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan
standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan
memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan
ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak
bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan
demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan
yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem
penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan
membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba
untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang
tinggi.
3.
Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya
ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman
untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru
agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang
berlaku secara umum. Jika UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya
harus dimodifikasi.
4.
Sistem pelaporan hasil belajar dalam
bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif.
Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi sehingga dapat memberikan informasi
yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai
contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar bahasa Indonesia perlu mencakup
kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis,
membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal
yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan
menggunakan portfolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Rohmat. 2012. Pilar Peningkatan Mutu Pendidikan.
Yogyakarta: Cipta Media
Aksara
Pusat
Pengembangan Kurikulum. 2003. Kurikulum
2004 Kerangka Dasar (draft).
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Soedijarto,
Prof., DR, MA. 1993a. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan
dan
Bermutu.Jakarta:
Balai Pustaka
Soedijarto,
Prof., DR, MA. 1993b. Memantapkan Sistem
Pendidikan Nasional.
Jakarta: Grasindo
McNeil,
John D. 1977. Curriculum A Comprehensive
Introduction. Boston: Little,
Brown and Company
Undang-undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Komentar