Sumber Daya Manusia dalam suatu
organisasi merupakan penentu yang sangat penting bagi keefektifan berjalannya
kegiatan di dalam organisasi. Keberhasilan dan kinerja seseorang dalam suatu
bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh tingkat kompetensi, profesionalisme,
dan juga komitmennya terhadap bidang pekerjaan yang ditekuninya. Kinerja
seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat kepuasan kerja yang dimiliki. Kepuasan
kerja seseorang juga dipengaruhi baik dari dalam maupun dari luar. Untuk sisi
internal, kepuasan kerja seseorang akan menyangkut komitmennya dalam bekerja,
baik komitmen professional maupun komitmen organisasional. Sedangkan dari sisi
eksternal, kepuasan kerja dipengaruhi oleh lingkungannya dimana seseorang
berada (Amilin dan Rosita Dewi, 2008:13).
Kualitas manusia
yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia
pada masa yang akan
datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat
dengan
bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut
dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu. Oleh karena itu, guru
dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan
yang sangat strategis.
Sehubungan dengan
penjelasan di atas, tulisan ini akan membahas mengenai kinerja dan faktor-faktornya, kontrak psikologis, kepuasan
kerja dan kontrak organisasi serta retensi individual serta manajemen retensi
individual.
A. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
konsep kinerja, kontrak psikologis dan kepuasan kerja?
2.
Bagaimana
manajemen retensi individual?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kinerja
Kinerja
berasal dari kata job performance atau actual performance yang
berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang.
Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan fungsinya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Performance atau
kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses (Nurlaila, 2010:71).
Menurut pendekatan perilaku dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau
kualitas sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang yang
melakukan pekerjaan (Luthans, 2005:165).
Kinerja
merupakan prestasi kerja, yaitu perbandingan antara hasil kerja dengan standar
yang ditetapkan (Dessler, 2000:41). Kinerja adalah hasil kerja baik secara
kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas
sesuai tanggung jawab yang diberikan (Mangkunagara, 2002:22).
Kinerja
adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama
periode tertentu dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai
kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria
yang telah ditentukan terlebih dahulu telah disepakati bersama (Rivai dan
Basri, 2005:50).
Sedangkan
Mathis dan Jackson (2006:65) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa
yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Manajemen kinerja adalah
keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau
organisasi, termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok kerja di
perusahaan tersebut.
Kinerja
merupakan hasil kerja dari tingkah laku (Amstrong, 1999:15). Pengertian kinerja
ini mengaitkan antara hasil kerja dengan tingkah laku. Sebgai tingkah laku,
kinerja merupakan aktivitas manusia yang diarahkan pada pelaksanaan tugas
organisasi yang dibebankan kepadanya.
B.
Faktor yang
Mempengaruhi Kinerja
1. Efektifitas
dan Efisiensi
Bila suatu tujuan tertentu akhirnya
bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi
apabila akibat-akibat yang tidak dicari kegiatan menilai yang penting dari
hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan kepuasan walaupun efektif dinamakan
tidak efesien. Sebaliknya, bila akibat yang dicari-cari tidak penting atau
remeh maka kegiatan tersebut efesien (Prawirosentono, 1999:27).
2. Otoritas (Wewenang)
Otoritas menurut adalah sifat dari
suatu komunikasi atau perintah dalam suatu organisasi formal yang dimiliki
seorang anggota organisasi kepada anggota yang lain untuk melakukan suatu
kegiatan kerja sesuai dengan kontribusinya (Prawirosentono, 1999:27). Perintah
tersebut mengatakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dalam
organisasi tersebut.
3. Disiplin
Disiplin adalah taat kepda hukum dan
peraturan yang berlaku (Prawirosentono, 1999:27). Jadi, disiplin karyawan
adalah kegiatan karyawan yang bersangkutan dalam menghormati perjanjian kerja
dengan organisasi dimana dia bekerja.
4.
Inisiatif
Inisiatif yaitu berkaitan dengan
daya pikir dan kreatifitas dalam membentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang
berkaitan dengan tujuan organisasi.
C.
Kontrak
Psikologis
1.
Pengertian Kontrak Psikologis
Istilah kontrak psikologis berbeda
dengan kontrak kerja. Robinson dan Rousseau (2000) menyatakan bahwa kontrak
kerja secara umum mengacu pada dokumen tertulis yang mengatur hak dan kewajiban
seorang karyawan dan tunduk pada peraturan perusahaan. Selanjutnya Robinson dan
Rousseau (2000) menjelaskan bahwa kontrak mengikat karyawan dan perusahaan
dalam suatu persatuan kerja, mengatur perilaku masing-masing pihak dalam
perusahaan serta memungkinkan pencapaian tujuan perusahaan (Robinson dan
Rousseau, 2000).
Istilah kontrak psikologis pertama
kali diperkenalkan oleh dua orang psikolog, yaitu Argyris dan Menninger (dalam
Conway dan Briner, 2005). Definisi mengenai kontrak psikologis mengalami
perkembangan mulai dari awal teori ini diperkenalkan hingga saat ini.
Kontrak
psikologis merupakan keyakinan individu, yang dibentuk dari organisasi,
keyakinan tersebut mengacu pada persetujuan antara individu dan organisasinya.
Sedangkan Menurut Herriot dan Pemberton (dalam Conway dan Briner, 2005) kontrak
psikologis merupakan persepsi organisasi dan individu tentang kewajiban
masing-masing pihak yang terbentuk secara tidak langsung dalam hubungan kerja.
Lebih jelasnya, Morrison and Robinson (dalam Conway dan Briner, 2005)
mengemukakan bahwa kontrak psikologis mengacu pada keyakinan-keyakinan karyawan
mengenai kewajiban-kewajiban yang bersifat timbal balik antara karyawan dan
organisasinya, di mana kewajiban tersebut didasarkan pada janji-janji yang
dipersepsikan dan tidak disadari dengan penting oleh agen-agen yang ada pada
organisasi.
2. Aspek-Aspek
Kontrak Psikologis
Aspek kontrak psikologis mengacu
pada keyakinan tentang janji-janji seorang karyawan kepada organisasi dan
hal-hal yang dijanjikan organisasi kepada karyawannya. Conway dan Briner (2005)
menekankan bahwa aspek kontrak psikologis mengacu pada keyakinan tentang
janji-janji organisasi kepada karyawannya atas kontribusi mereka terhadap
organisasi. Seperti upah, kesempatan promosi, pelatihan, peningkatan
kesejahteraan.
Menurut De Vos (2002) kontrak
psikologis mencakup aspek hubungan kerja baik yang dilakukan perusahaan kepada
karyawan maupun karyawan kepada perusahaan. Organisasi berjanji kepada
karyawannya dalam hal :
a. Pengembangan
karir
Menawarkan kemungkinan untuk pengembangan dan promosi
dalam organisasi (seperti kemungkinan untuk pengembangan, diangkat menjadi
pegawai tetap, peluang promosi)
b. Penawaran
Pekerjaan (job konten)
Penawaran Pekerjaan, penawaran menantang, konten
pekerjaan yang menarik, seperti kerja di mana karyawan dapat menggunakan
kapasitas mereka.
c. Lingkungan
sosial
Lingkungan sosial nya menawarkan lingkungan kerja dan
menyenangkan seperti baik komunikasi antar rekan kerja, kerjasama yang baik
dalam kelompok baik terhadap atasan maupun sesame rekan kerja.
d. Keuangan
Kompensasi Penawaran ganti rugi yang tepat, seperti :
remunerasi sepadan dengan pekerjaan, kondisi kerja yang memiliki konsekuensi
pajak yang menguntungkan e. Keseimbangan dengan pribadi karyawan Penawaran
menghormati dan pemahaman untuk situasi pribadi karyawan. Misalnya :
fleksibilitas dalam jam kerja, pemahaman tentang keadaan pribadi.
Sedangkan
janji karyawan yang merupakan wujud timbal balik adalah sebagai berikut :
a. Usaha dan
performance kinerja
Kesediaan untuk bekerja lebih baik untuk kemajuan
organisasi. Dengan cara meningkatkan prestasi kerja, bekerja baik secara
kuantitatif dan kualitatif, dapat bekerja sama dengann baik terhadap pimpinan
dan rekan kerja.
b. Keluwesan
Kesediaan untuk menjadi fleksibel dalam melaksanakan
pekerjaan yang perlu dilakukan seperti bekerja lembur, membawa pulang kerja.
c. Loyalitas
Kesediaan
untuk terus bekerja lebih lama untuk organisasi dengan cara tidak menerima
setiap tawaran pekerjaan yang datang bersama, bekerja untuk organisasi selama
beberapa tahun setidaknya.
d. Berperilaku
lebih baik
Kesediaan untuk bertingkah laku lebih baik terhadap
organisasi. Seperti tidak membongkar rahasia dan informasi penting perusahaan,
jujur berurusan dengan sumber daya dan anggaran
e. Ketersediaan
Kesediaan untuk menjaga status ketersediaan pada tingkat
yang dapat diterima, seperti : mengambil pelatihan yang tersedia, bersedia
mengikuti jenjang pendalaman pendidikan dann ketrampilan jika dibutuhkan
perusahaan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa aspek kontrak psikologis mengacu pada timbal
balik antara organisasi dengan karyawan nya. Karyawan berkeyakinan mengenai
hal-hal yang dijanjikan organisasi baik dalam hal keadilan pemberian gajih,
kejelasan status kerja, kesejahteraan pegawai dan peningkatan karir yang jelas.
Organisasi juga mengharapkan karyawan yang dapat selalu kontribusi nya guna
kemajuan perusahaan.
3.
Pelanggaran Kontrak Psikologis
Menurut Conway dan Briner (2005),
ketika salah satu pihak telah gagal dalam memenuhi kewajibannya maka akan
terjadi pelanggaran kontrak psikologis. Pelanggaran tersebut dipersepsikan
karyawan telah dilakukan oleh organisasi. Sama halnya dengan kontrak
psikologis, pelanggaran kontrak psikologis bersifat subjektif dan didasarkan
pada persepsi karyawan terhadap janji-janji yang bersifat eksplisit maupun
implisit.
4.
Konsekuensi Kontrak Psikologis
Secara umum, para peneliti meyakini
bahwa pelanggaran kontrak psikologis berdampak pada karyawan dan organisasi.
Berdasarkan hasil kutipan dari Conway dan Briner (2005), studi empiris
menemukan bahwa pelanggaran kontrak psikologis berdampak pada sikap yang
negatif terhadap pekerjaan dan organisasinya (Johnson, 2003), rendahnya
kepuasan kerja (Tekleab dan Taylor, 2003), rendahnya komitmen organisasi
(Robinson, 1996), rendahnya kinerja (Turnlay dan Feldman, 2000) dan meningkatnya
karyawan untuk keluar dari organisasi (Conway dan Briner, 2005).
D.
Kepuasan
Kerja dan Komitmen Organisasi
1.
Kepuasan
Kerja
a.
Definisi
Kepuasan Kerja
Kepuasan
kerja didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif karyawan terhadap
pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector, 1977). Pengaruh
positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif dan perilaku, hal
ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap (Zanna &
Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan terhadap
pekerjaannya.
Aspek
kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang pekerjaannya,
yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak tuntutan dsb.
Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat terkait dengan
perasaan dari pengaruh positif.
Komponen
perilaku merupakan perilaku karyawan atau lebih sering kecenderungan
perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi
nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur,
bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi utk waktu yang
lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja, komponen
perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku,
spt seseorang tidak suka dg pekerjaannya tetapi tetap sbg karyawan karna alasan
financial.
b.
Dampak dari
Kepuasan Kerja
1)
Terhadap Produktivitas Kerja.
Banyak pendapat yang
menyatakan bahwa produktivitas dapat dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja,
namun hasil penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan antara
produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil. Produktivitas kerja dipengaruhi
oleh banyak faktor – faktor moderator disamping kepuasan kerja.
2)
Terhadap Kemangkiran Dan Keluarnya
Tenaga Kerja.
Ketidakhadiran lebih
bersifat spontan dan kurang mencerminkan ketidakpuasan kerja, berbeda dengan
berhenti atau keluar dari pekerjaan. Steers dan Rhodes mengembangkan model
pengaruh dari kehadiran. Ada dua faktor pada perilaku hadir yaitu motivasi
untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa motivasi untuk
hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja.
3)
Terhadap Kesehatan
Ada beberapa bukti
tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan
mental. Kesehatan
mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi
dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari
kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor –
skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari
jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan, namun
hubungan kausalnya masih tidak jelas.
2.
Komitmen
Organisasi
Konsep
komitmen organisasi telah didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara yang
berbeda. Menurut Cherirington (1996) dalam Khikmah (2005) komitmen organisasi sebagai nilai
personal, yang kadang-kadang mengacu sebagai sikap loyal pada perusahaan.
Robbins (2003) mengemukakan komitmen organisasi merupakan salah satu sikap yang
merefleksikan perasaan suka atau tidak suka terhadap organisasi tempat bekerja.
Komitmen
organisasi ialah sikap karyawan yang tertarik dengan tujuan, nilai dan sasaran
organisasi yang ditunjukan dengan adanya penerimaan individu atas nilai dan
tujuan organisasi serta memiliki keinginan untuk berafiliasi dengan organisasi
dan kesediaan bekerja keras untuk organisasi sehingga membuat individu betah
dan tetap ingin bertahan di organisasi tersebut demi tercapainya tujuan dan
kelangsungan organisasi. Komitmen organisasi
diungkap dengan skala komitmen organisasi. Aspek komitmen diungkap melalui
aspek yang dikemukakan Schultz dan Schultz (1993, 290) yaitu : (1) penerimaan
terhadap nilai dan tujuan organisasi (2) kesediaan untuk berusaha keras demi
organisasi dan (3) memiliki keinginan untuk berafiliasi dengan organisasi.
E.
Retensi
Individual
1.
Pengertian
Retensi Individual
Definisi
atau pengertian retensi karyawan sering diartikan sebagai upaya untuk
mempertahankan karyawan di dalam organisasi. Retensi karyawan mengacu pada
berbagai kebijakan dan praktik yang mengarahkan karyawan agar bertahan di
organisasi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Setiap
organisasi menginvestasikan waktu dan uang untuk mengembangkan rekrutmen baru
agar ia siap bekerja dan dapat menyamai karyawan yang sudah ada. Oleh
karena itu pula, kehilangan karyawan selalu berarti kehilangan pengetahuan,
modal, keahlian, dan pengalaman. Bila organisasi kehilangan seseorang dengan
banyak pengetahuan dan terlatih, pada dasarnya organisasi telah kehilangan
pendapatan yang seharusnya dihasilkan karyawan tersebut. Hal demikian dapat
ditafsirkan bahwa perusahaan telah mengalami kehilangan besar.
Berdasarkan
pemahan tersebut di atas, menjadi sangat penting bagi organisasi agar tidak
kehilangan karyawan, yang dapat mengakibatkan kerugian dan inefisiensi dalam
pekerjaan organisasi. Untuk itu perlu dikembangkan langkah-langkah yang dapat
mempertahankan aset sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Prinsipnya,
semakin besar karyawan merasa organisasi tempatnya bekerja mengembangkan
kebijakan sumber daya manusia yang berpusat pada kesejahteraan secara profesional,
maka semakin kecil kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi yang
mempekerjakan mereka, demikian dikatakan oleh Paille, Bordeau &
Galois (2010).
2.
Faktor-faktor
Retensi Individual
Ada beberapa faktor penentu
retensi karyawan. Kalau merujuk pendapat Mathis & Jackson (2006, p128-135),
faktor-faktor tersebut antara lain:
[
[
a.
Komponen Organisasional
Beberapa
komponen organisasional mempengaruhi karyawan dalam memutuskan apakah bertahan atau
meninggalkan perusahaan mereka. Organisasi yang memiliki budaya dan nilai yang
positif serta berbeda mengalami perputaran karyawan yang lebih rendah.
Strategi, peluang, dan manajemen organisasional di dalam perusahaan yang
dikelola dengan baik juga akan mempengaruhi retensi karyawan. Demikian pula
dengan kontinuitas dan keamanan kerja (job security) seseorang di suatu
organisasi, juga turut berpengaruh terhadap retensi karyawan.
b.
Peluang Karier Organisasional.
Survei
terhadap karyawan di semua jenis pekerjaan tetap menunjukkan bahwa usaha
pengembangan karir organisasional dapat mempengaruhi tingkat retensi karyawan
secara signifikan. Faktor-faktor yang mendasarinya adalah pelatihan karyawan
secara kontinu yang dilakukan perusahaan, pengembangan dan bimbingan karier
terhadap seseorang, serta perencanaan karier formal di dalam suatu organisasi.
c.
Penghargaan
dan Retensi Karyawan.
Penghargaan
nyata yang diterima karyawan karena bekerja, datang dan pembentukan gaji,
insentif, dan tunjangan. Menurut banyak survei dan pengalaman, satu hal yang
penting terhadap retensi karyawan adalah mempunyai praktik kompensasi yang
kompetitif. Penghargaan yang kompetitif tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
gaji dan tunjangan yang kompetitif, penghargaan berdasarkan kinerja, pengakuan
terhadap karyawan serta tunjangan dan bonus spesial.
d.
Rancangan Tugas dan Pekerjaan
Faktor
mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan adalah sifat dari tugas dan
pekerjaan yang dilakukan. Beberapa organisasi menemukan bahwa angka perputaran
karyawan yang tinggi dalam beberapa bulan lamanya pekerjaan sering kali
dihubungkan dengan usaha penyaringan seleksi yang kurang memadai. Rancangan
tugas dan pekerjaan yang baik harus memperhatikan unsur tanggung jawab dan
otonomi kerja, fleksibilitas kerja karyawan, kondisi kerja yang baik (faktor
fisik dan lingkungan seperti, ruang, pencahayaan, suhu, kegaduhan dan
sejenisnya), dan keseimbangan kerja/kehidupan karyawan.
e.
Hubungan Karyawan.
Hubungan
yang dimiliki para karyawan dalam organisasi menjadi faktor yang diketahui
dapat mempengaruhi retensi karyawan. Apabila karyawan memperoleh perlakuan yang
adil atau tidak diskriminatif, mendapat dukungan dari supervisor atau
manajemen, dan memiliki hubungan dengan rekan kerja yang baik, maka hal-hal ini
akan mempengaruhi retensi karyawan.
3.
Mengelola
Retensi Individual
Untuk mencegah terjadinya retensi
karyawan atau setidaknya kalaupun harus ada retensi karyawan maka retensi
tersebut haruslah dikelola. Mengelola retensi karyawan merupakan sebuah
proses. Gambaran mengenai proses mengelola retensi karyawan sebagai
berikut:
a.
Pengukuran dan penilaian retensi
karyawan
Guna
memastikan bahwa tindakan yang tepat diambil untuk meningkatkan retensi
karyawan dan mengurangi perputaran, keputusan manajemen lebih membutuhkan data
dan analisis daripada kesan subjektif dati situasi individual yang dipilih,
atau reaksi terhadap hilangnya beberapa orang penting. Oleh karena itu, adalah
penting untuk mempunyai beberapa jenis ukuran dan analisis yang berbeda. Data
yang dapat diukur dan dinilai, terdiri dari: Analisis pengukuran perputaran,
biaya perputaran, survei karyawan dan wawancara keluar kerja
b.
Intervensi Retensi Karyawan
Berbagai
intervensi Sumber Daya Manusia (SDM) dapat dilakukan untuk memperbaiki retensi
karyawan. Perputaran dapat dikendalikan dan dikurangi dengan beberapa cara,
yaitu: pengembangan sistem perekrutan dan seleksi, orientasi dan
pelatihan, kompensasi dan tunjangan, perencanaan dan pengembangan karier, dan
hubungan karyawan yang juga mempertimbangkan upaya meminimalisir retensi
karyawan.
c.
Evaluasi dan Tindak Lanjut
Setelah
usaha intervensi dilakukan, selanjutnya evaluasi dan tindak lanjut dapat
dilakukan dengan cara: menelaah data perputaran secara tetap, memeriksa hasil
intervensi dan menyesuaikan usaha intervensi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kinerja merupakan hasil kerja yang mencakup seluruh kegiatan yang dilakukan
guna meningkatkan prestasi diri dan juga mengembangkan sebuah institusi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja yakni efektifitas dan efisiensi, otoritas,
disiplin, dan inisiatif.
Kontrak psikologis adalah keyakinan individu yang dibentuk dari organisasi
dan keyakinan. Aspek psikologis berupa janji kepada karyawan terkait karir dan
juga berupa umpan balik dari kinerja karyawan. Kontrak psikologis dapat
dilanggar dengan salah satu pihak gagal dalam memenuhi kewajibannya.
Konsekuensinya ialah dampak negatif berupa penurunan kinerja, komitmen dan lain
sebagainya.
Kepuasan kerja merupakan pengaruh positif terhadap karyawan terhadap
pekerjaannya. Dampak dari kepuasan kerja sangat erat terhadap produktivitas
kerja. Sikap karyawan yang tertarik dengan tujuan, nilai dan sasaran organisasi
dinamakan komitmen.
Retensi individual diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan karyawan
didalam organisasi. Retensi mengacu pada kebijakan dalam waktu lama.
Faktor-faktor retensi individual komponen organisasi, peluang karier
organisasi, penghargaan, dan hubungan dengan karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong,
Mischael, 1999. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Terjemahan
Sofyan dan Haryanto. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Mangkunegara,
Anwar Prabu . 2002. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Remaja
Rosdakarya.
Bandung
Nurlaila,
2010. Manajemen Sumber Daya Manusia
I. Penerbit LepKhair.
Prawirosentono,
Suryadi. 1999. Kebijakan Kinerja
Karyawan.
Yogyakarta:
BPFE.
Rivai,
Vethzal & Basri. 2005. Peformance
Appraisal: Sistem yang tepat untuk
Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahan.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kuswadi.
2004. Cara Mengukur Kepuasan Kerja
Karyawan. Jakarta : PT
ElexMedia Komputindo
P.
Robbin, Stephen. 2003. Perilaku
Organisasi. Jakarta : PT INDEKS
kelompok GRAMEDIA
Komentar